Peran Terapi Intravenous Immunoglobulin (IVIG) pada Pasien Multiple Sclerosis

dr. Brilliant Van Fitof S.R., Sp.PD

Peran Terapi Intravenous Immunoglobulin (IVIG) pada Pasien Multiple Sclerosis

Peran Terapi Intravenous Immunoglobulin (IVIG) pada Pasien Multiple Sclerosis

Brilliant Van Fitof S.R., Sp.PD
RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Korespondensi: Brilliant Van Fitof S.R.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Email: van.fitof@gmail.com

Abstrak
Multiple sclerosis adalah gangguan demielinasi pada susunan saraf pusat yang bersifat kronis dan diperantarai oleh sel imun. Gejala dan tanda klinis pasien multiple sclerosis sangat tergantung dari letak lesi yang terdapat di susunan saraf pusat, baik di otak atau medula spinalis. Keluhan yang sering dijumpai pada pasien berupa parestesia, gangguan berjalan, kelemahan ekstremitas inferior, dan gangguan penglihatan. Perjalanan klinis penyakit ini dihubungkan dengan adanya demielinasi yang diakibatkan oleh aktivitas sistem imun. Etiologi penyakit ini dikaitkan dengan genetik, infeksi virus Epstein-Barr, rendahnya kadar vitamin D tubuh, faktor lingkungan tempat tinggal, serta paparan asap rokok. Diagnosis dini dan terapi lebih awal pada pasien multiple sclerosis merupakan langkah penting untuk mencegah kerusakan saraf. Kondisi penyakit yang dapat relaps dapat menyebabkan abnormalitas fungsi tubuh hingga menyebabkan disabilitas. Intravenous immunoglobulin (IVIG) menjadi salah satu modalitas terapi multiple sclerosis yang banyak digunakan untuk menurunkan inflamasi serta mencegah relaps.
Kata kunci: autoimun, immunoglobulin, inflamasi, multiple sclerosis

PENDAHULUAN
Multiple sclerosis (MS) merupakan penyakit kronis yang mengenai sistem saraf pusat karena adanya gangguan demielinasi pada saraf akibat kondisi autoimun. MS dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada sistem sensori, penglihatan, keseimbangan dan fungsi kognitif pasien. Prevalensi kejadian MS secara global dilaporkan meningkat beberapa dekade belakangan ini, diperkirakan terdapat 2,8 juta orang yang menderita MS atau sekitar 35,9 per 100.000 orang. Insidensi per negara cukup bervariasi namun negara Eropa dilaporkan sebagai negara yang memiliki angka insidensi MS tertinggi. Jumlah insidensi MS terkini disebutkan 30 % lebih tinggi jika dibandingkan data tahun 2013 yang lalu. Secara umum, MS mulai terdiagnosa pada usia 20-40 tahun dengan rasio kejadian lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Namun belakangan MS juga dilaporkan terjadi pada pasien usia kurang dari 18 tahun. Data epidemiologi juga menyebutkan terdapat sekitar ≥30.000 kasus MS yang didiagnosa pada pasien usia kurang dari 18 tahun.1,2,3

Multiple sclerosis terjadi karena sistem imun yang merusak mielin saraf. Kondisi ini memiliki gambaran manifestasi klinis yang bervariasi namun pada beberapa pasien kerusakan yang terjadi bersifat irreversible sehingga menimbukan disabilitas pada pasien.1 MS dapat menyebabkan rusaknya blood brain barrier (BBB) yang selanjutnya akan terjadi migrasi dari sel imun (makrofag, sel B, dan sel T) dan sekresi sitokin proinflamasi, chemokines, pembentukan lesi plak sklerosis, demielinasi, dan neurodegenerasi.4

Diagnosis dini dan akurat dari penyakit ini sangat penting untuk ketepatan dalam pemilihan terapi. Diagnosis pasien berdasarkan pada gejala klinis pasien serta temuan pada pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI). Kriteria McDonald juga cukup sensitif serta dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis MS. Kriteria ini juga mudah untuk diaplikasikan serta dapat mendiagnosis MS secara lebih dini.1,5

Terdapat sejumlah pilihan terapi pada pasien MS, antara lain adalah kortikosteroid, disease modifying drug, plasmaparesis, intravenous immunoglobulin (IVIG), dan injeksi hormon adenocorticotropic. Sebagian besar terapi untuk MS adalah terapi jangka panjang dengan menekan sistem imun. Walaupun terapi pada MS saat ini dapat menurunkan angka relaps, namun pencegahan jangka panjang pada pasien masih menjadi masalah.4

Intravenous immunoglobulin IVIG adalah imunoglobulin normal yang digunakan secara luas pada kasus imunodefisiensi primer atau sekunder. Terapi IVIG juga telah digunakan sebagai terapi lini pertama pada kondisi autoimun dan kondisi inflamasi termasuk sindrom Guillain-Barré (GBS) serta pada penyakit chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy. IVIG mulai sangat luas digunakan dan dicari beragam fungsinya, aplikasi klinis, struktur molekul dan modifikasinya, dan cara penggunaannya. Terapi dengan IVIG juga aman digunakan selama kehamilan dan menyusui. Tidak terdapat kelainan yang terjadi pada fetus atau bayi baru lahir pada ibu yang menjalani terapi IVIG.6,7,8

PEMBAHASAN
Definisi
Multiple sclerosis adalah penyakit inflamasi yang dimediasi sistem imun di mana sistem imun menyerang mielin akson di susunan saraf pusat. Penyakit ini paling banyak menyebabkan disabilitas pada orang dewasa muda. Multiple sclerosis sering mengalami remisi, namun kadang mengalami progresivitas yang perlahan akan menyebabkan disabilitas.1,5,8

Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab MS sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti apakah disebabkan karena satu faktor tertentu ataupun kombinasi dari berbagai faktor, namun terdapat bukti bahwa perpaduan antara epigenetik, lingkungan, dan faktor genetik yang memprovokasi sistem imun untuk memproduksi respons inflamasi yang ditandai dengan kerusakan mielin. Seiring dengan waktu, hilangnya fungsi akson dan terjadinya neurodegenerasi akan menyebabkan disabilitas. Kerusakan ini berjalan pada fase awal penyakit. Tempat tinggal, risiko keluarga, jenis kelamin, diet, dan kadar vitamin D3 dalam darah serta paparan UVB yang berkaitan dengan human leukocyte antigen-DR isotype (HLA-DR) memiliki peran pada penyakit ini.9

Mononukleosis dari infeksi virus Epstein-Barr pada populasi dewasa juga terkait dengan perkembangan penyakit MS. Selain itu, infeksi dari virus lain diduga berpotensi sebagai penyebab terjadinya MS, antara lain adalah measles, chicken pox, dan virus herpes. Merokok juga meningkatkan risiko terjadinya MS sekitar 40% pada perempuan. Peningkatan jumlah wanita yang merokok merefleksikan peningkatan insidensi MS yang relatif lebih tinggi pada wanita. Hal ini memberikan suatu hipotesis bahwa tembakau dapat menyebabkan modifikasi pascatranslasi melalui adanya antigen di paru-paru.9,10

Multiple sclerosis lebih sering terjadi pada ras kulit putih, seperti ras Kaukasia di Eropa Utara dan juga di Amerika, Selandia Baru, dan Australia. Walaupun gen memiliki peran penting sebagai faktor risiko terjadinya MS, namun saat ini faktor lingkungan juga diketahui berdampak dalam perkembangan MS. Faktor lingkungan seperti letak daerah pada geografis tertentu terutama negara dengan suhu yang sejuk dan paparan sinar matahari yang relatif lebih sedikit memiliki dampak yang besar pada perkembangan MS. Hal ini dikaitkan dengan kondisi kadar vitamin D di dalam darah, masyarakat yang tinggal di negara dengan paparan sinar matahari yang lebih rendah seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Eropa Utara cenderung memiliki kadar vitamin D yang rendah. Seperti kita ketahui, sinar matahari secara efektif merupakan trigger pembentukan vitamin D dari kolesterol di kulit. Vitamin D memiliki banyak peran di dalam tubuh antara lain adalah menjaga kesehatan tulang serta regulasi sistem imun.2,9

Gejala dan Tanda
Multiple sclerosis merupakan penyakit kronis dengan perjalanan yang panjang mulai dari adanya faktor risiko, gejala asimtomatik, prodromal, dan fase simtomatik dari penyakit. MS dicurigai pada pasien dengan manifestasi klinis clinically isolated syndrome (CIS). Gejala dan tanda sangat tergantung dari letak lesi yang terdapat di SSP, baik di otak atau medula spinalis. Ukuran dari lesi juga sangat bervariasi. MS yang mengalami relaps, biasanya berkembang secara subakut dari jam ke hari dan mencapai fase plateau dalam beberapa minggu, untuk kemudian akan membaik secara perlahan-lahan. Namun demikian, relaps ini akan meninggalkan kerusakan saraf yang lebih berat ke depannya. Sebagai contohnya adalah neuritis optik akut yang didapat akan membaik, namun penglihatan warna, sensitivitas kontras, dan kedalaman penglihatan abnormal masih tetap ada.10

Gejala terbanyak dari MS adalah parestesia sebanyak 37%, gangguan berjalan 35%, kelemahan ekstrimitas inferior 17%, gangguan pandangan 15%, dan selebihnya pandangan ganda serta inkoordinasi gerakan. Pasien MS dapat mengalami lebih dari 1 gejala di atas. Pada pemeriksaan fisik pasien, ditemukan hilangnya refleks abdominal, ataksia ekstremitas inferior, gangguan sensasi getar, optik neuropati, nistagmus, spastisitas, disartri, tremor halus, serta gangguan nyeri dan raba.11

Patomekanisme
Proses primer pada multiple sclerosis adalah demielinasi yang menyebabkan hilangnya mielin pada akson susunan saraf pusat. Hilangnya mielin ini muncul bersamaan dengan proses patologi lain yang juga memengaruhi akson, glia, atau pembuluh darah. Oligodendrosit pada susunan saraf pusat bertanggung jawab pada perluasan mielin otak. Struktur ini didominasi lipid dan sebagian oleh protein.9,12

Inflamasi dapat ditemukan pada seluruh derajat MS, namun lebih sering ditemukan pada fase akut daripada fase kronis pasien. Kerusakan awal ditandai dengan adanya invasi sel imunitas perifer dan kebocoran sawar darah otak. Makrofag mendominasi proses infiltrasi yang kemudian  diikuti oleh sel T CD8+, sel CD4, sel B, dan sel plasma. Di fase awal penyakit, terdapat sedikit kerusakan otak dan sumsum tulang belakang di daerah luar lesi fokal. Pada tahapan penyakit selanjutnya akan terjadi penyebaran infiltrat sel T dan B inflamasi, aktivasi dari mikroglia dan astrosit, pengurangan mielin yang menyebar, serta cedera aksonal. Hasilnya adalah terdapat atrofi di grey dan white matter. 13

Multiple sclerosis juga ditandai dengan adanya area yang mengalami demielinasi konfluen pada white dan grey matter di otak dan medula spinalis yang disebut dengan plaque. Walaupun akson dan neuron sebagian besar mengalami gangguan pada awal MS, proses perjalanan selanjutnya adalah kehilangan fungsi neuroaksonal yang bertahap dan berkaitan dengan disabilitas pasien. Demielinasi juga ditemukan pada grey matter di korteks, nukleus, dan medula spinalis.13

Gambar 1. Faktor risiko dan perjalanan penyakit.9

Diagnosis
Diagnosis pasien dengan MS masih sangat bergantung dengan kondisi klinis. Namun, gejala yang mirip harus dieksklusi dengan pemeriksaan penunjuang ketika terdapat indikasi. Standar terapi laboratorium yang diperiksa adalah anti-nuclear antibody, vitamin B12, dan fungsi tiroid. Pemeriksaan serologi sifilis dan HIV juga direkomendasikan. Uji rutin untuk penyakit autoimun sistemik memberikan sedikit manfaat pada pasien dengan manifestasi MS. Antibodi nonspesifik sering terdeteksi yang mungkin tidak terkait secara relevan dengan titer ANA yang rendah.10,12

Saat ini tidak terdapat pemeriksaan tunggal untuk mendiagnosis MS. Diagnosis MS ditegakkan berdasarkan pada bukti adanya:14

  1. Setidaknya 2 lesi yang berbeda pada white matter di susunan saraf pusat (kriteria lesi/atau plaque).
  2. Setidaknya 2 episode klinis yang berbeda pada perjalanan penyakit (kriteria waktu).
  3. Inflamasi kronis pada susunan saraf pusat yang dibuktikan dengan analisa cairan serebrosinal (kriteria inflamasi).

Semua pasien yang dicurigai menderita MS harus dilakukan lumbal pungsi untuk mendukung diagnosa MS. Sampai saat ini belum terdapat penanda imun darah untuk mendiagnosa MS dengan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi. Hal ini mungkin akibat dari gambaran penyakit MS yang sangat heterogen berdasarkan genetik dan tempat tinggal lingkungan pasien.1,9 

Penggunaan MRI untuk mendukung diagnosis MS memberikan akurasi bagi klinisi hampir 95%. Lesi baru biasanya memiliki gambaran ring-like enhancement sesuai dengan gambaran reaktivasi lesi sebelumnya. MRI kepala biasanya menunjukkan lesi multifokal hiperintens T2 di white matter dengan lokasi di periventricular, juxtacortical, dan infratentorial. Lesi di medula spinalis terjadi pada 80–90% pasien MS dan 50% pasien yang mengalami clinically isolated syndrome. Lesi dapat meluas lebih dari 1-2 segmen vertebrae. MRI medula spinalis direkomendasikan pada pasien dengan mielopati atau ketika MRI kepala tidak ditemukan diagnosis MS. Pemeriksaan lain seperti neuropsikologikal digunakan untuk mencetuskan potensial gejala pada visual, sensoris, atau pendengaran yang dapat mendukung adanya MS.1,12

Diagnosis banding MS secara klinis dapat dilihat dari adanya tanda dan gejala sistemik yang muncul. Penyakit seperti lupus eritema sistemik, sindrom Sjogren, penyakit Behcet, ataupun vaskulitis sering menjadi pertimbangan diagnosis banding MS. MS juga dapat ditemukan pada pasien dengan adanya penyakit autoimun lain sehingga pertimbangan keseluruhan untuk penegakan penyakit MS harus dilakukan secara hati-hati.10

Tata laksana multiple sclerosis dengan intravenous immunoglobulin (IVIG)
Imunoglobulin adalah kelompok glikoprotein yang komponennya terdiri dari 82-96% protein dan 4–18% karbohidrat. Glikoprotein ini memiliki berat molekul sekitar 150 kDa yang terdapat di plasma dengan rerata konsentrasi 7–12 g/L tergantung dari variasi individu dan paparan lingkungan oleh antigen. IgG adalah molekul mayor dari respons imun humoral sekitar 75% dari total imunoglobulin di seluruh tubuh.7

Intravenous immunoglobulin (IVIG) merupakan hasil fraksinasi plasma dari 5000-10.000 ribu donor orang sehat. Intravenous immunoglobulin mengandung antibodi imun dan autoantibodi fisiologis. Mekanisme yang tepat bagaimana IVIG dapat memberikan efek imunomodulator masih belum jelas dipahami. Dalam neuropati inflamasi, terdapat beberapa mekanisme patofisiologi yang diusulkan. Peran sel B jelas didapatkan di mana antibodi antigangliosida dan aktivasi komplemen telah dibuktikan.15.17

Setelah pemberian secara intravena, imunoglobulin akan segera ikut bersirkulasi di pembuluh darah dan memiliki tingkat bioavaibilitas yang tinggi. IVIG dapat terdistribusi secara cepat antara plasma dan cairan ekstravaskular. Keseimbangan antara kompartemen ekstraseluler dan intraseluler akan tercapai dalam kisaran waktu 3-5 hari. Pemberian IVIG dengan dosis 0,1–2 g/kgBB, akan diikuti dengan peningkatan kadar IgG secara cepat hingga lima kali lipat, kemudian akan menurun sekitar 50 % dalam waktu 72 jam dan akan menurun sampai pada kadar sebelum terapi setelah 21-28 hari.17 Penurunan yang cepat konsentrasi IgG disebabkan karena perpindahan IgG dari intravaskular ke limfonodi dan kompartemen cairan ekstraseluler. Rerata waktu paruh IgG adalah 23 hari, IgM 5,1 hari, dan IgA 5,6 hari. Pada kondisi tertentu, waktu paruh IgG dapat memendek seperti pada kondisi protein losing enteropathy, sindrom nefrotik, IgG paraproteinemia, dan distrofi miotonika.7

Intravenous immunoglobulin terdiri dari molekul intak IgG dengan distribusi subclass IgG yang sesuai dengan serum normal. Distribusi subclass IgG ini sangat bervariasi tergantung dari preparasi sumber donor plasma. Kadar subclass IgG1 bervariasi antara 55-70%, sedangkan IgG2 antara 0-6% dan IgG4 sekitar 0,7-2,6%.17 IVIG juga mengandung sedikit protein dan turunan produknya seperti albumin, IgA, IgE, IgM, dan garam fisiologis, serta cairan penyangga. Waktu paruh IVIG setelah diberikan secara intravena adalah sekitar 2–3 minggu. Hal ini juga sangat bervariasi pada beberapa pasien dan tergantung status imunitas pasien.7,17 

IVIG memiliki aktivitas imunomodulator yang berdasarkan modulasi proses biologis. Efek biologis dari IVIG termasuk antara lain:7

  1. Blokade reseptor fragment crystallizable (Fc)
    Reseptor Fc yang terdapat pada fagosit, mengimplikasikan partikel yang telah diopsonisasi oleh IgG. Proses ini memiliki arti fisiologis yang sangat besar terhadap mekanisme pertahanan terhadap agen infeksi. Proses ini juga berkontribusi pada patogenesis beberapa penyakit yang dimediasi oleh sistem imun.
  2. Menetralkan dan menghambat produksi autoantibodi
    IVIG mengandung antibodi antiidiopatik yaitu antibodi yang dapat berinteraksi secara spesifik dengan regio tertentu di autoantibodi. Interaksi ini memiliki potensi untuk menetralkan autoantibodi dan menghambat produksinya lewat ikatan limfosit B.
  3. Menghambat komplemen
    Bagian Fc dari IVIG dapat berikatan dengan fragmen komplemen C3b dan C4b dan selanjutnya akan menghambat deposisi pada jaringan. Kaskade ini telah dipahami dan dijelaskan pada dermatomiositis yang diberikan terapi IVIG.
  4. Modulasi sitokin dan produksi antagonis sitokin
    IVIG secara signifikan memodulasi produksi beberapa sitokin dan antagonis sitokin melalui monosit dan limfosit. Mekanisme ini memberikan efek antiinflamasi melalui ikatan IgG dengan Fc dan Fab-2 (fragment antigen binding-2). Ikatan tersebut berhubungan dengan respons proliferatif limfosit dan memodulasi produksi sitokin T helper.
  5. Aktivasi atau blokade fungsional dari reseptor apoptosis Fas
    Saat ini telah diketahui bahwa IVIG memiliki efek menghambat atau mengaktifkan kematian sel dengan cara berikatan dengan reseptor apoptosis Fas. Mekanisme ini masih belum jelas dipahami. IgG yang terdapat pada IVIG akan berikatan dengan beberapa epitop berbeda yang pada selanjutnya akan dapat bersifat agonis anti-Fas IgG dan antagonis anti-Fas IgG.
  6. Modulasi sel dendritik/dendritic cell (DC)
    Penelitian akhir-akhir ini menduga bahwa IVIG juga memiliki efek pada diferensiasi, maturasi, dan status fungsional DC. DC juga menjadi salah satu target efek dari imunosupresi IVIG pada aktivasi sel T. Proses ini terjadi dengan cara menurunkan regulasi ekspresi molekul yang menstimulasi DC, dan selanjutnya akan menghambat DC dalam memproduksi IL-10 dan IL-12.
  7. Meningkatkan sensitivitas steroid
    Penelitian oleh Spahn et al, pada pasien asma menunjukkan bahwa IVIG menurunkan dosis glukokortikoid secara signifikan. Hal ini terjadi karena afinitas reseptor glukokortikoid akan meningkat dan menyebakan sensitivitas glukokortikoid juga bertambah. Tahap selanjutnya adalah supresi yang sinergis dari aktivitas limfosit.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bayry et al, pemberian IVIG pada pasien MS memiliki beberapa keuntungan, antara lain menghambat aktivasi makrofag, sel dendritik, dan sel T patogenik seperti sel Th1 dan Th17. Selain itu, IVIG juga berperan dalam respons modulasi sel B, menghambat produksi autoantibodi, menekan produksi sitokin proinflamasi, dan menstimulasi sitokin antiinflamasi. Dari data penelitian tersebut, IVIG dapat menjadi pengobatan yang menjanjikan pada pasien dengan MS. Studi lain di Austria pada pasien yang diberikan IVIG perbulan dengan dosis 0,15–0,2 g/kgBB selama 2 tahun melaporkan bahwa IVIG menurunkan angka disabilitas kronis dengan cara mengukur disabilitas berdasarkan skor EDSS (expanded disability status scale) Kurtzke’s.6

Efek Samping Pengobatan IVIG
Manajemen terapi efek samping pada pemberian IVIG adalah simtomatik. Terapi jarang diberikan secara agresif, kecuali pada pasien ditemukan reaksi anafilaktik atau komplikasi respirasi dan kardiovaskular. Angka kejadian yang dilaporkan kurang dari 5%. Efek samping ringan terjadi dalam 30 menit pertama saat imunoglobulin dimasukkan dan mungkin akan segera menghilang bila tetesan pemberian dihentikan atau dikurangi. 7

Efek samping yang segera dialami oleh pasien adalah flu-like symptoms, gatal, aritmia, dan hipotensi, serta TRALI (transfusion related acute lung injury). Sedangkan efek samping yang timbul kemudian dapat berupa trombosis, gangguan neurologis, gangguan ginjal, hemolisis dan neutropenia, gangguan keseimbangan elektrolit, dan risiko terjadinya infeksi.16

Pasien yang mengalami reaksi efek samping selama pemberian terapi pertama kali akan mengalami risiko efek samping pada saat terapi selanjutnya. Hal ini mungkin dikaitkan dengan defisiensi IgA pada pasien. Dasti et al, pada tahun 2009 dan Aghamohammad et al, 2004 menyimpulkan pada penelitiannya bahwa insidensi efek samping pemberian IVIG berkaitan dengan defek primer IgA. Oleh karena itu, pemberian infus IVIG tidak boleh diberikan pada pasien dengan defisit primer IgA.16

KESIMPULAN
Multiple sclerosis adalah penyakit kronis yang menyerang susunan saraf pusat yang dimediasi oleh sel imun. Manifestasi klinis pasien dengan MS sangat beragam tergantung letak lesi yang diserang. Deteksi awal sangat penting untuk memberikan terapi dengan tepat dan menurunkan disabilitas serta relaps pada pasien. Penelitian tentang penggunaan IVIG pada pasien MS menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan potensi disabilitas pasien sehingga IVIG dapat menjadi salah satu terapi pilihan yang menjanjikan pada pasien MS.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Brownlee JW, Hardy TA, Fazekas F, Miller DH. Diagnosis of multiple sclerosis: progress and challanges. Lancet. 2017;389:1336-46. doi: 10.1016/S0140-6736(16)30959-X.
  2. O’Connor P. Multiple sclerosis the facts you need. 5th edition. Toronto: McGill Universty Press. 2014.
  3. Walton C, King R, Rechtman L, et al. Rising prevalence of multiple sclerosis worldwide: Insights from the Atlas of MS, third edition. Mult Scler. 2020;26(14):1816-21. doi:10.1177/1352458520970841.
  4. Dargahi N, Katsara M, Tselios T, et al. Multiple sclerosis: immunopathology and treatment Update. Brain Sci. 2017;7(7):78. doi:10.3390/brainsci7070078.
  5. Ibrahim EAA, Gassoum A, Aldeaf SAH, Ahmed MO, Ahmed SHA. The patterns of clinical presentation of multiple sclerosis in patients admitted to the national center of neurological sciences, Khartoum, Sudan. Journal of Neurology and Neuroscience. 2018;9(3):258. doi:10.21767/2171-6625.1000258.
  6. Bayry J, Hartung HP, Kaveri SV. IVIG for relapsing-remitting multiple sclerosis: promises and uncertainties. Trends Pharmacol Sci. 2015;36(7):419-421. doi:10.1016/j.tips.2015.04.012.
  7. Barahona Afonso AF, João CM. The production processes and biological effects of intravenous immunoglobulin. Biomolecules. 2016;6(1):15. doi:10.3390/biom6010015.
  8. Winkelmann A, Rommer PS, Hecker M, Zettl UK. Intravenous immunoglobulin treatment in multiple sclerosis: A prospective, rater-blinded analysis of relapse rates during pregnancy and the postnatal period. CNS Neurosci Ther. 2019;25(1):78-85. doi:10.1111/cns.12985.
  9. Reich DS, Lucchinetti CF, Calabresi PA. Multiple sclerosis. N Engl J Med. 2018;378(2):169-180. doi:10.1056/NEJMra1401483.
  10. Dobson R, Giovannoni G. Multiple sclerosis - a review. Eur J Neurol. 2019;26(1):27-40. doi:10.1111/ene.13819.
  11. Aminoff MJ, Greenberg DA, Roger PS. Clinical neurology. McGraw-Hill
    Education / Medical; 9 edition. 2015. 232-7.
  12. Kurniawan S Multipel sklerosis dalam Continuing Neurological Education 5, Update on Neuroscience and Clinical Neurology. UB Media, Universitas Brawijaya, Malang. 2016. 1-25.
  13. Dendrou CA, Fugger L, Friese MA. Immunopathology of multiple sclerosis. Nat Rev Immunol. 2015;15(9):545-558. doi:10.1038/nri3871.
  14. Goldenberg MM. Multiple sclerosis review. P T. 2012;37(3):175-184.
  15. Kurniawan, SN, Nurlela S. Mekanisme IVIG pada kasus neurologi dalam Continuing Neurological Education 6, Update Clinical Practice of Neurology. UB Media, Universitas Brawijaya, Malang. 2017. 36-48.
  16. Guo Y, Tian X, Wang X, Xiao Z. Adverse effects of immunoglobulin therapy. Front Immunol. 2018;9:1299. doi:10.3389/fimmu.2018.01299.
  17. Dalakas MC. Update on intravenous immunoglobulin in neurology: modulating neuro-autoimmunity, evolving factors on efficacy and dosing and challenges on stopping chronic IVIg therapy. Neurotherapeutics. 2021;18(4):2397-2418. doi:10.1007/s13311-021-01108-4
Hubungi Kami